Menuju 2019; Menghitung Mundur Ujian Kewarasan Kita

SourcePinterest
Siapa yang berkompetisi,
siapa yang saling memaki.
Sebentar lagi pesta demokrasi,
makian antar pendukung makin riuh terjadi.

Kita sedang tidak menghitung mundur momen pemilihan umum, tetapi sedang menghitung mundur hari di mana kewarasan kita akan diuji. Apakah kita akan jadi warga negara yang bisa menyuarakan haknya tanpa berbenturan dengan orang lain atau justru sebaliknya. Sebab dari mata saya sebagai seorang warga negara biasa dengan pengetahuan politik yang dangkal, kompetisi terjadi bukan dari masing-masing kursi calon pemimpin negeri, melainkan pada setiap postingan media sosial yang membuat ngeri.

Ini membuat kita seolah jadi boneka yang membuat para oknum tim sukses tertawa karena amat mudah terperdaya. Dimulai dari sebaran Whatsapp yang validitasnya dipertanyakan, peristiwa-peristiwa yang terjadi karena kehendak Tuhan tetapi disangkut pautkan dengan kecenderungan politik yang jadi pilihan, hingga panggilan anak katak dan anak kelelawar yang membuat manusia tidak lagi dimanusiakan.

Hanya karena pandangan politik yang berseberangan, kalian memanggil saudara kita sesama anak Adam seekor hewan?

Bunga-bunga yang hidup dalam sepetak taman saja tidak tumbuh dalam rupa dan jenis yang sama, apalagi kita manusia sebagai makhluk berakal yang hidup di atas dunia yang begitu luas dengan takdir dan kehidupan yang berbeda-beda. Haruskah kita punya pemikiran dan kencederungan politik yang sama? Setiap orang berhak untuk tidak diintervensi hanya karena pilihan yang ia buat dalam hidupnya.

Saya tidak tumbuh di keluarga dan lingkungan yang punya satu pandangan dan keyakinan. Keberagaman yang terjadi di dalam lingkaran keluarga saya tidak lantas membuat kami berseteru karena perbedaan. Justru hal itu kami manfaatkan untuk saling berempati pada pilihan satu sama lain. Mengenal apa kelebihan dan kekurangan salah satu capres, dan mengetahui kelebihan dan kekurangan capres lainnya. Dengan saling berempati dan MENDENGARKAN TANPA MENYELA satu sama lain, debat kusir tentang perbedaan pandangan politik yang ujung-ujungnya menjadi saling serang urusan personal tidak perlu terjadi.

Namun dari banyaknya diskusi politik yang terjadi di dalam keluarga maupun lingkungan pertemanan, saya lebih suka menjadi pendengar, bukan partisipan yang vokal bicara. Karena bagi saya, diskusi politik memerlukan DATA YANG RELEVAN, tidak cukup jika hanya didasari oleh pandangan pribadi. Saya yang merasa masih dangkal pengetahuan dan data tentang politiknya, memilih untuk menggali setiap informasi yang saya dapatkan. Sebab saya sadar, ilmu politik saya masih nol. Oleh karena itu, saya selalu miris ketika mendengar siapapun yang berdebat soal politik mendasarinya tidak dengan data yang relevan, melainkan hanya berdasarkan "menurut saya", "menurut saya", dan "menurut saya".

Jadi jika dalam perjalanan menuju hari di mana kewarasan kita diuji, kita berhadapan dengan seseorang yang pilihan politiknya berbeda dengan kita, mereka bukan seseorang yang harus diajak seteru. Mereka sama seperti kita. Sama-sama menginginkan yang terbaik untuk negara, tetapi dengan cara pandang dan panutan yang berbeda. Toh kita semua sama-sama menginginkan kebaikan untuk Indonesia. Kita doakan saja yang terbaik dan yang Tuhan dan rakyat Indonesia anggap paling baiklah yang akan duduk di singgasana.

Ingat, aku dan kalian adalah manusia, jangan lagi saling memanggil dengan panggilan satwa.

Senin, 5 November 2015
Audrey D. Alodia
Bandung
sambil menunggu hujan reda dan jemputan datang

Comments

Popular Posts