Tentang Meninggalkan dan Ditinggalkan
Yang mana yang lebih sering kamu alami?
Meninggalkan? Atau ditinggalkan?
Jika
meninggalkan, apa alasanmu? Kamu lelah dengan belenggu ketidakbahagiaan yang
datang bersama orang yang mengaku mencintaimu? Atau, kebahagiaanmu terkikis
bersama pudarnya cinta yang kamu pernah bilang ada selamanya untuknya?
Jika
ditinggalkan, mengapa? Kamu terlalu baik atau cenderung bodoh sehingga yang
mencintaimu bisa seenaknya datang dan pergi sesuka hatinya? Atau, sifat burukmu
yang membuat yang mencintaimu tidak bisa tinggal?
Semuanya
punya alasan dan maksud. Entah yang salah ada di kamu, atau pada dia.
Aku
pun pernah meninggalkan, pernah pula (dan lebih banyak) ditinggalkan.
Untuk
meninggalkan, aku punya alasan. Sebagian dari kalian yang pernah meninggalkan
pun pasti punya alasan.
Aku
lebih mencintai diriku sendiri, dibanding orang yang melukaiku. Itu alasanku.
Aku
pernah menemukan sebuah tulisan, mengenai pendapat seseorang bahwa cinta adalah
tentang kesabaran yang berulang-ulang. Tetapi jika kesabaran itu tinggal hanya untuk
mengikis kebahagiaanmu berulang-berulang, kamu masih mau bersabar? Jika
kesabaran itu ada hanya untuk cinta yang menyakiti dan tak ada ruang untuk
mencinta diri sendiri, kamu masih mau bersabar?
Lebih
baik pergi.
Jika
mencintai diri sendiri saja kamu tak mampu, bagaimana kamu akan mencintai orang
lain (yang benar-benar mencintaimu).
Aku
pernah (bahkan sering) ditinggalkan.
Beberapa
dari kamu pasti ada yang tertawa membaca pernyataan itu. Entah isi kepalamu
akan berkata, “Sukurin!”, atau, “Kasian amat!”, atau “Dasar jones!”, atau
bahkan tak sedikit yang membatin, “Sama.”
Mereka
yang memilih meninggalkanku pasti punya alasan.
Entah
karena sifat burukku yang ternyata tak bisa mereka atasi. Entah karena
menyebalkannya aku membuat mereka tak betah. Entah karena ‘tampak luar’ku tak
seperti orang-orang impian mereka yang masih mereka kejar hingga ke masa depan,
atau justru pernah mereka cintai di masa lalu. Jangan menutup mata dan
berpura-pura tak tahu, kalau di antara kamu masih ada yang memilih pasangan
dengan role model orang yang pernah
kamu cintai atau orang yang sedang kamu kejar namun tak tergapai.
Sampai
kapan akan mencintai seseorang di bawah bayang-bayang orang lain? Aku tidak
menyalahkan kamu yang seperti itu, karena aku pun pernah begitu. Menyukai A
karena rupanya mirip B yang belum pernah bisa dipacari. Mencintai C karena
sikapnya mirip D yang pernah menjadi pacar namun malah diputusi.
Tetapi
aku sadar, itu salah.
Jika
move on hanya tentang keikhlasan,
bukan pada siapa berpindah hati setelah disakiti, maka aku belum
benar-benar move on pada saat itu.
Jangan
menyalahkan diri sendiri karena pernah melakukan kesalahan itu. Setiap manusia
butuh proses untuk melupakan. Asal, jangan ulangi lagi.
Hargai
ia yang datang dari masa depan untuk mencintaimu karena kamu adalah kamu, tanpa
berada di bawah bayang-bayang siapa-siapa.
Apa
alasanmu ditinggalkan?
Karena
dia menemukan seseorang yang menurutnya lebih baik, padahal kamu selalu
berusaha ada untuknya dalam keadaan terbaikmu? Karena sebuah alasan klise bernama
‘jenuh’? Padahal masa ‘jenuh’mu berhasil kamu kalahkan dengan berjuang sendiri
dan kamu kesampingkan egomu ketika kehadirannya membuatmu eneg. Karena sikapmu yang menurutnya buruk? Padahal ia sendiri tak
sadar bahwa sikapnya banyak membuatmu terluka.
Atau,
karena hal lain yang kamu sendiri tak bisa ungkapkan? Karena jika alasan itu
terungkap hanya akan membawa luka bagimu dan baginya. Maka, bukan justru kamu yang
ditinggalkan, tapi kalian berdualah yang saling meninggalkan atas keputusan
bersama. Padahal, kamu dan dia masih saling mencintai.
Apapun
alasanmu ditinggalkan, percayalah, tidak
ada kehilangan yang tak terganti. Kata-kata itu aku dapat ketika membaca
sebuah novel berjudul Altitude 3676
Takhta Mahameru karya Azzura Dayana.
Memang terdengar klise dan kita tidak hidup di dalam sebuah novel, tapi apa
salahnya jika kamu percaya dan menjadikannya motivasi agar dapat bertahan demi
dirimu sendiri? Ketika menulis curahan hati ini pun, sejujurnya aku masih belajar
‘bertahan’.
Tapi
percayalah, ditinggalkan mungkin takkan seburuk yang kamu pikir pada akhirnya.
Aku pun sedang menanamkan keyakinan itu pada diriku sendiri sekarang.
Setelah
ini, berusahalah untuk hapus air matamu, percaya bahwa rasa sakitmu akan segera
berakhir. Sesak dadamu akan melega, karena kamu sendirilah yang berani melepas
itu.
Kehilanganmu
pun akan terganti.
Entah
oleh kedatangan seseorang dari masa depan yang kubilang akan mencintaimu karena
kamu adalah kamu.
Atau
justru oleh kehadiran seseorang dari masa lalu dengan dirinya yang baru, yang sama
seperti kamu yang telah belajar dari kesalahan yang telah lalu, dan siap untuk
menjadikan diri sebagai orang yang melangkah ke masa depan bersama kamu. Karena
Tuhan pernah memisahkan kalian dulu (ataupun sekarang), untuk mendewasakan kalian ketika bertemu lagi sekarang (atau di masa depan).
Dari
ruang waktu mana pun ia datang, semoga ia hadir tak hanya untuk membuatmu
bahagia, tetapi juga untuk mengajarimu caranya bertahan bersama kala saling terluka.
Mempertahankan
dan dipertahankan. Itu kan, yang kamu mau? Agar tidak ada lagi yang
meninggalkan dan ditinggalkan.
Audrey D. Alodia
Sunday, December
28th 2014
Aku pernah merasakan untuk meninggalkan, tapi dalam konteks dan dimensi yg sedikit berbeda. Untuk simulakram semacam cinta yg kamu paparkan, kayanya aku adalah orang yg tertinggal oleh waktu sehingga aku belum pernah berada disuatu titik yg memberi aku 2 pilihan -_-. Btw, you are good author
ReplyDeleteHehehe, thanks Ridwan :). Aku cuma sharing sedikit pengalamanku biar agak 'lega' selama 'berobat jalan' aja, kok. Makasih sudah baca :).
ReplyDeleteNice Audry, keep writing 😉
ReplyDeleteNice Audry, keep writing 😉
ReplyDeleteTerima kasih sudah baca, Kak Ajay :D
ReplyDelete